GERAKAN reformasi 1998, yang semestinya memberikan perubahan bagi dunia pendidikan nasional, ternyata justru melahirkan ambiguitas yang meresahkan. Ambiguitas tersebut antara lain, pertama, mengenai goals setting yang ingin dicapai dari sistem pendidikan.Judul Buku : Pendidikan Alternatif: Qariah Thayyibah
Penulis : Ahmad Bahrudin
Penerbit : L-KiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal Buku : xix + 286 halaman
Harga : Rp 25.000,00
Hingga saat ini, sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (market student) sehingga pendidikan tidak lagi berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Pada awal kalender akademik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah favorit.
Kekecewaan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin itulah yang menjadi inspirasi utama Bahrudin, untuk segera menggagas model pendidikan yang diharapkan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani di desanya, untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mempercepat proses terciptanya desa yang indah, beradab, dan berkeadilan (Qariah Thayyibah).
Berbasis komunitas
Kita ingat, tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan, jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.
Dalam pandangan Lembaga Qariah Thayyibah sekolah harus dikembalikan pada habitatnya yang lebih dikenal sebagai pengorganisasian pendidikan bagi sistem formal untuk tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri, dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai dengan konteks masyarakat. Bagi Bahrudin, model pendidikan yang tepat adalah model sekolah komunitas yang memungkinkan masyarakat sendiri merefleksikan pendidikan sebagai sistem pembudayaan yang menghargai apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuan sebagai basis aspirasi bagi kehidupan mereka.
Oleh karena itu, pengetahuan harus dikembalikan pada realitas aslinya. Sebab, pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya sehingga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu, pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.
Buku ini –yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif Qariah Thayyibah– merupakan tawaran riil yang lebih menjanjikan terhadap gersangnya tanah dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan Bahrudin dalam mendirikan pendidikan alternatif berbasis komunitas ini, sangatlah brilian dan menakjubkan. Tak heran jika Naswil Idris, salah seorang dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity mengatakan, bahwa SMP alternatif Qariah Thayyibah sejajar dengan Issy Les Mauleniauk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain di dunia yang dipandang sebagai keajaiban dunia ke tujuh.